Plurality menangani masalah ini dengan konsep “degressive proportionality”, sebuah mekanisme pemungutan suara yang memberikan bobot lebih pada aktor independen, sehingga memastikan proses pengambilan keputusan yang lebih seimbang dan adil.
Selain itu, filosofi ini juga membayangkan kembali sistem identitas untuk era digital.
Weyl dan Tang mendukung sistem identitas sosial interseksional yang mengutamakan privasi dan keamanan. Pendekatan multifaktor ini menantang penggunaan sistem identitas faktor tunggal, seperti biometrik, yang sering kali rentan terhadap eksploitasi.
Filosofi Plurality juga menekankan pentingnya tata kelola berbasis teknologi dalam platform digital seperti media sosial.
Alat seperti Polis dan Community Notes dari Twitter disebut sebagai cara efektif untuk memungkinkan percakapan berskala besar yang digerakkan oleh konsensus.
Platform ini dirancang tidak hanya untuk memaksimalkan keterlibatan, tetapi juga untuk menemukan titik-titik kesepakatan di antara berbagai kelompok, memastikan keputusan yang diambil didukung secara luas.
Buterin menyarankan bahwa Plurality memiliki potensi untuk mengubah tata kelola di berbagai konteks, termasuk media sosial, ekosistem blockchain, pemerintahan lokal, dan pendanaan barang publik. Visi yang diusung oleh Weyl dan Tang melampaui tren ideologis saat ini, menawarkan serangkaian prinsip baru yang sesuai dengan tantangan abad ke-21.(*)
Discussion about this post