“Hari ini, dakwaan terhadap presiden akan tercatat sebagai aib dalam sejarah kejaksaan Korea Selatan yang tak bisa dihapus,” tegas pernyataan tim pembela.
“Kami menegaskan kembali bahwa deklarasi darurat militer oleh seorang presiden tidak pernah bisa dianggap sebagai pemberontakan.”
Meskipun presiden memiliki kekebalan hukum terhadap sebagian besar tuntutan pidana, undang-undang Korea Selatan mengecualikan tuduhan pemberontakan dan pengkhianatan.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pemimpin pemberontakan dapat dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Sebagai seorang konservatif, Yoon membantah keras semua tuduhan tersebut. Dia menyatakan bahwa langkah darurat militer adalah tindakan yang sah untuk menjaga stabilitas negara dan memperingatkan publik terhadap ancaman dari Majelis Nasional yang dikuasai kelompok liberal.
Saat mengumumkan dekrit tersebut, Yoon menyebut majelis itu sebagai “sarang kriminal” dan bertekad untuk menyingkirkan “pengikut Korea Utara dan kekuatan anti-negara.”
Pada 3 Desember, setelah mengeluarkan dekrit darurat militer, Yoon mengerahkan pasukan dan polisi ke Majelis Nasional.
Namun, para anggota dewan tetap berhasil masuk ke ruang sidang dan dengan suara bulat membatalkan dekrit tersebut, yang memaksa kabinet Yoon mencabutnya.
Dekrit darurat militer tersebut hanya berlangsung selama enam jam, namun meninggalkan luka mendalam di masyarakat.
Tindakan itu mengingatkan publik pada masa kelam di era 1960-an hingga 1980-an, ketika para pemimpin militer menggunakan darurat militer untuk menekan lawan politik mereka.
Discussion about this post