MK mengungkapkan bahwa sistem presidential threshold ini secara tidak langsung mendorong hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam setiap pemilu.
Akibatnya, masyarakat kerap terjebak dalam polarisasi yang dapat mengancam persatuan bangsa jika tidak segera diatasi.
Mahkamah juga menilai bahwa logika sistem parlementer yang diterapkan melalui aturan threshold ini tidak sesuai dengan praktik sistem presidensial yang dianut Indonesia.
Oleh karena itu, MK menyatakan bahwa Pasal 222 tidak hanya melanggar hak politik masyarakat, tetapi juga bertentangan dengan asas keadilan, moralitas, dan rasionalitas yang menjadi landasan konstitusi.
“Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, Mahkamah merasa perlu mengubah pendirian dari keputusan-keputusan sebelumnya. Tidak hanya terkait angka threshold, tetapi juga seluruh konsep sistem ambang batas pencalonan presiden,” jelas Saldi.
Namun, dalam keputusan ini terdapat dissenting opinion dari dua hakim konstitusi, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Permohonan ini diajukan oleh empat mahasiswa dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yaitu Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.(*)
Discussion about this post