Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum Juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja.
Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar-benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap. Mungkin sudah takdir; kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda.
Ia berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir, ia ingat sesuatu yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.
“Bukankah Jin itu tidak teriihat?” pikir Abu Nawas.
Tiba-tiba Abu Nawas berjingkrak girang dan segera berlari kembali ke rumahnya.
Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian manuju istana.
Di pintu gerbang istana, Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya.
Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas. “Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?” tanya Baginda Raja.
“Sudah Paduka yang mulia,” jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botoi yang sudah disumbat.
Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu. Baginda menimbang-nimang botol itu. Mana angin itu, hai Abu Nawas?” tanya Baginda.
“Di dalam, Tuanku yang mulia,” jawab Abu Nawas penuh takzim.
“Aku tak melihat apa-apa,” timpal Baginda Raja.
“Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu,” kata Abu Nawas menjelaskan.
Setelah tutup botol dIbuka. Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung. “Bau apa ini, hai Abu Nawas?” tanya Baginda marah.
Discussion about this post