Kala itu, Trump mencurigai mereka sebagai bagian dari “deep state” yang berusaha menggagalkan agenda pemerintahannya.
Kasus paling terkenal terjadi pada 2018, saat Trump justru mendukung Presiden Rusia Vladimir Putin dengan mengatakan bahwa Putin “sangat kuat dan meyakinkan dalam menyangkal keterlibatan Rusia dalam pemilu 2016.”
Perbedaan pandangan terbaru soal Iran menjadi mencolok karena pemerintahan Trump periode kedua diisi oleh orang-orang loyalis, bukan tokoh-tokoh dari kalangan mapan.
Gabbard sendiri adalah mantan anggota Kongres dari Hawaii dan veteran militer yang relatif minim pengalaman di bidang intelijen maupun manajemen birokrasi besar.
Ia baru meninggalkan Partai Demokrat pada tahun 2022 dan mendukung pencalonan ulang Trump dalam pemilu tahun lalu.
Gabbard kembali memberi kesaksian tertutup pada hari Selasa di hadapan subkomite anggaran pertahanan Senat, membahas isu terkait pengeluaran pertahanan yang sebelumnya telah dijadwalkan.
Senator Mark Warner dari Virginia, yang menjabat sebagai ketua Demokrat di Komite Intelijen Senat namun bukan anggota subkomite anggaran, menyatakan bahwa ia tidak melihat ada informasi intelijen baru yang mengubah penilaian tentang program nuklir Iran.
“Direktur Gabbard menyatakan secara terbuka pada bulan Maret bahwa Iran tidak sedang mengejar pembuatan bom,” kata Warner. “Saya belum melihat adanya intelijen terbaru yang bertentangan dengan apa yang dikatakannya.”
Sementara itu, Direktur Badan Energi Atom Internasional telah berulang kali mengingatkan bahwa Iran saat ini memiliki cukup uranium yang diperkaya untuk memproduksi beberapa bom nuklir jika negara itu memutuskan untuk melakukannya.
Discussion about this post