Hingga saat ini, Gedung Putih belum memberikan komentar resmi terkait kesepakatan ini.
Namun diketahui bahwa persetujuan awal atas struktur perjanjian ini diberikan di era pemerintahan Trump.
Yang membuatnya unik adalah pendekatan monetisasi terhadap ekspor produk strategis, bukan pelarangan total, sehingga muncul pertanyaan: apakah nilai keamanan nasional telah dikompromikan demi pemasukan?
Pihak Nvidia menegaskan bahwa mereka tetap mematuhi pedoman pemerintah.
“Kami mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah AS untuk partisipasi kami di pasar global,” ujar perusahaan dalam pernyataan resminya.
CEO Nvidia, Jensen Huang, bahkan menekankan pentingnya daya saing global.
“Amerika tidak boleh mengulangi kesalahan 5G dan kehilangan kepemimpinan di sektor telekomunikasi,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa AI buatan AS bisa menjadi standar dunia jika bergerak cukup cepat.
Sementara itu, para analis keamanan nasional masih berdebat soal apakah chip seperti H20—yang sudah direkayasa agar sesuai dengan batasan AS—masih bisa digunakan untuk mendukung pengembangan sistem pertahanan China.
Beberapa pihak berpendapat bahwa meski dipangkas kemampuannya, akselerator ini tetap cukup kuat untuk pelatihan AI berskala besar.
Hal ini justru bisa memperkecil jarak kemampuan komputasi antara AS dan China, berlawanan dengan niat awal kebijakan ekspor.
Untuk saat ini, perjanjian berbagi pendapatan ini memberi waktu bagi Nvidia dan AMD untuk tetap beroperasi di pasar yang sangat krusial bagi mereka.
Namun pada saat yang sama, perjanjian ini juga mengungkap betapa rapuhnya rezim kontrol ekspor ketika kepentingan komersial bersinggungan dengan isu keamanan nasional.
Discussion about this post