“Aku kemari karena ingin tahu keadaanmu,” jawab Baginda Raja.
“Engkau dikabarkan sakit hendak melahirkan dan sedang menunggu dukun beranak, sejak zaman nenek moyangku hingga sekarang, aku belum pernah mendengar ada seorang lelaki mengandung dan melahirkan, itu sebabnya aku datang kemari.”
Abu Nawas tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
“Coba jelaskan perkatanmu. Siapa lelaki yang hamil dan siapa dukun beranaknya,” tanya Baginda Raja lagi.
Maka dengan senang hati berceritalah Abu Nawas.
“Konon, ada seorang raja mengusir seorang pembesar istana. Tetapi setelah lima bulan berlalu, tanpa alasan yang jelas, sang Raja memanggil kembali pembear tersebut ke Istana, ini ibarat hubungan laki-laki dan perempuan yang kemudian hamil di luar nikah. Tentu saja itu melanggar adat dan agama, menggegerkan seluruh negeri,” kisah Abu Nawas.
“Lagi pula apabila seorang mengeluarkan titah, tidak boleh mencabut perintahnya lagi. Jika itu dilakukan, ibarat menjilat air ludah sendiri. Itulah tanda-tanda pengecut. Oleh ksrena itu, harus berpikir masak-masak sebelum bertindak. Itulah tamsil seorang lelaki yang hendak bersalin, adapun dukun beranak yang ditumggu, adalah Baginda kemari,” kata Abu Nawas.
“Dengan kedatangan baginda kemari, berarti hamba sudah melahirkan, yang dimaksud dengan bersalin adalah hilangnya rasa sakit atau takut hamba kepada Baginda,” terang Abu Nawas lagi.
“Bukan begitu,” kata Sultan.
“Ketika aku melarang kamu datang lagi ke istana, itu tidak sungguh-sungguh, melainkan hanya bergurau. Besok datanglah engkau ke istana, aku ingin bicara denganmu. Memang di sana banyak menteri, tetapi tidak seperti kamu. Lagipula selama engkau tidak hadir di istana, selama itu pula hilanglah cahaya Balairungku,” kata Baginda Raja.
Discussion about this post