“Kalau begitu siapkan tambang itu sekarang. Aku ingin segera meihat istanaku dari dekat,“ kata Baginda tidak sabar.
“Paduka yang mulia. Hamba kemarin lupa memasang tambang itu Sehingga seorang kawan hamba tertinggal di sana dan tidak bisa turun,” kata Abu Nawas mulai berkelit.
“Bagaimana dengan engkau sendiri Abu Nawas? Dengan apa engkau turun ke bumi?” tanya Baginda.
“Dengan menggunakan sayap Paduka yang mulia,” kata Abu Nawas dengan bangga.
“Kalau begitu buatkan aku sayap supaya aku bisa terbang ke sana,” kata Baginda.
”Paduka yang Mulia, sayap itu hanya bisa diciptakan dalam mimpi,” kata Abu Nawas menjelaskan.
“Engkau berani mengatakan aku gila sepertimu?” tanya Bagin dan sambil melotot.
“Ya, Baginda. Kurang lebih seperti itu,” jawab Abu Nawas tangkas.
“Apa maksudmu?” tanya Baginda lagi.
“Baginda tahu bahwa membangun istana di awang-awang adalah pekerjaan yang mustahil dilaksanakan. Tetapi Baginda tetap menyuruh hamba mengerjakannya. Sedangkan hamba juga tahu bahwa pekerjaan itu mustahil dikerjakan. Tetapi hamba tetap menyanggupi titah Baginda yang tidak masuk akal itu,” kata Abu Nawas berusaha menjelaskan kepada Baginda Raja.
Tanpa menoleh, Baginda Raja kembali ke istana diiringi para pengawalnya.
Abu Nawas berdiri sendirian sambi memandang ke atas melihat istana terapung di awang-awang.
“Sebenarnya siapa di antara kita yang gila?” tanya Baginda mulai jengkel.
“Hamba kira kita berdua sama-sama tidak waras, Tuanku,” jawab Abu Nawas tanpa ragu.(*)
Discussion about this post